28.5.20

Didi Kempot, Lord Ambyar

"Mas, apa benar Didi  Kempot meninggal?"
"Duh, gak tahu. Belum dengar kabar itu."
"Itu ada yang posting di WAG."

Pertanyaan seorang teman di Kantor tentang kabar meninggalnya seorang Didi Kempot (untuk selanjutnya akan saya sebut dengan Pakdhe), biduan yang populer dengan lagu-lagu berbahasa Jawanya dan akhir-akhir ini kembali naik ke permukaan dan digemari oleh anak-anak Milenial, serta mendapat julukan sebagai The Godfather of Brokenheart. 

Beberapa saat kemudian WAG yang lain bertebaran kabar tentang kepergian Didi Kempot untuk selama-lamanya. Istri saya mentag saya dalam postingannya di laman media sosial miliknya dengan mempertanyakan kebenaran berita itu, bahkan ibu mertua saya sampai mengirim pesan pribadi tentang kabar itu.

Kabar yang sungguh mengejutkan bagi saya, dan tentunya tidak pernah saya harapkan sedemikian cepat akan menerimanya. Oh ya, saya bukanlah orang yang kenal dekat dengan Pakdhe. 

Saya hanyalah seorang penggemar lagu-lagu beliau. Sejak saya masih pengangguran dan sendirian, saya ditemani lagu-lagunya ketika melewatkan malam-malam sepi dan sendiri. 

Lagu-lagu yang sering saya nyanyikan dengan genjrengan gitar antara lain adalah Layang Kangen, Sewu Kutho, Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Lingso Tresno, Cidro dan Tanjung Mas Ninggal Janji. Dan tentunya masih banyak lagunya yang lain yang cukup familiar dengan telinga saya.

Tahun 2019, saya dan istri berkesempatan nonton langsung konser Pakdhe di Kudus. Dan seperti konser-konser yang lain, animo penonton sangat luar biasa. Padahal mereka adalah anak-anak muda yang masih usia belasan akhir atau awal dua puluhan.  (Soal bagaimana Pakdhe begitu digemari oleh kalangan Milenial sudah banyak yang membahasnya).


***
from IG: didikempot.quotes
Sepulang kerja, saya mendapat cerita dari istri saya soal komentar anak perempuan saya, Ayya, ketika mereka menonton berita tentang kepergian Pakdhe di televisi.

"Mah, papah gak dikabari? Kalau papah dikabari, pasti akan menangis. Karena dia (kan) idolanya papah.", begitu celetuk Ayya.

Setelah kabar kepergianPakdhe tersiar, hampir seluruh televisi (atau mungkin seluruh channel televisi, saya tidak ngecek semua channel) menyiarkan apapun yang berhubungan dengan kabar atau lagu-lagu Pakdhe. Dan setiap kali televisi menayangkan informasi atau lagu Pakdhe, Ayya langsung mendatangi saya dan berkata,"Pah, nangis!"

Saya sendiri tidak tahu sebenarnta apa yang membuat saya merasa begitu dekat dengan Pakdhe. Saudara bukan, tetangga juga bukan. Hanya seorang penyanyi yang lagu-lagunya pernah menemani keseharian saya, tapi kepergiannya meyisakan sedih yang cukup dalam.

Sugeng tindak, Pakdhe. Daaaaa..aa selamat jalan.