25.10.15

Masih Ada (Musik) Rock di Panggung

Mereka aja (yang) sudah berumur berani tampil di panggung,  kok kamu tidak?!
—————

Hari Sabtu, 24 Oktober 2015. Sinar matahari masih cukup panas, meski sudah jam 4 sore.

Setelah mengantar anak sulung ke sekolah, saya tidak langsung pulang, tapi mampir dulu ke lapangan Kenari. Di situ ada acara Pesta Rakyat Simpedes yang diadakan oleh sebuah bank pemerintah. Acara sudah dimulai sejak pagi tadi. Ada berbagai macam acara, dari pameran UMKM sampai lomba-lomba, di antaranya adalah lomba burung berkicau dan asah akik.

Niat awal saya datang adalah untuk melihat lomba asah akik, juga melihat stand akik. Namun apa daya, ternyata lombanya sudah selesai.

Hanya, ketika saya datang di panggung sedang tampil sebuah band yang mayoritas pemainnya berpakaian warna hitam dengan dibantu dua orang backing vokal perempuan, sedang tampil membawakan “Smoke On The Water”-nya Deep Purple. Dan, saya gak jadi kecewa! Langsung saja saya stay, menonton dan menikmati penampilan band itu.

Memasuki tengah lagu kedua, “Hongky Tonk Woman”-nya Rolling Stones, saya sempat bergegas pulang menjemput anak bungsu dan istri, dengan niatan untuk mengajak mereka nonton juga.

Alhamdulillah, sekembalinya saya ke lapangan band itu masih main, kali ini mereka bawakan lagu “Highway Star”-nya Deep Purple. Tebakan saya, band ini adalah semacam sekumpulan manusia yang suka dengan segala hal berbau klasik rock. Btw, asyik juga, membantu mengobati rasa rindu saya pada lagu-lagu era itu.

Selesai lagu itu, band kemudian berkemas karena harus berbagi stage dengan band lain. Dari si MC saya tahu, band yang nyanyiin lagu-lagu klasik rock tadi itu bernama The Kemisan.

Kelar The Kemisan, tampil band berikutnya yang bernama The Gentleman. Kali ini pemainnya berusia lebih muda dari The Kemisan, dan berpakaian necis, bahkan ada yang memakai dasi kupu-kupu. Mereka tampil membawakan lagu-lagu dari Sheila On 7, yaitu Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki, J.A.P, Melompat Lebih Tinggi dan Pejantan Tangguh. Yang menjadi catatan saya, sepertinya mereka masih perlu menambah jam terbang. Saya merasa ada beberapa part yang mereka mainkan masih tidak cukup rapi.

Jam 5 sore kurang 10 menit, saya minta tolong agar istri menjemput anak dari sekolah sore untuk dibawa langsung ke lapangan.

Setelah The Gentleman turun dari panggung, band berikutnya yang tampil adalah Nothing, yang beraliran emo. Mereka membawakan lagu berjudul “Jiwa” dari Alone At Last, dan dua lagu ciptaan sendiri berjudul “Bangkit” dan “Sebatas Mimpi”. Dibandingkan The Gentleman,  Nothing tampil lebih baik dan rapi.

Lalu istri datang bersama anak sulung, ketika itu di panggung sedang tampil Black Flash dari Kudus yang sedang memainkan “One”-nya Metallica, setelah sebelumnya juga memainkan lagu Metallica yang lain yang berjudul “Enter Sandman”.

Kelar “One”, Black Flash memainkan “Whenever I May Roam” juga punya Metallica dari album Black. Karena saya cukup kenal dengan lagu-lagu yang Black Flash mainkan, jadilah saya ikut sedikit-sedikit sing along selama mereka tampil.

Lalu tiba-tiba ada yang berbisik di telinga saya, “Mereka aja (yang)  sudah berumur berani tampil di panggung, kok kamu tidak?!”. Saya nengok ke istri saya sambil nyengir.

Menjelang maghrib, Black Flash memainkan satu lagu ciptaan mereka sendiri yang berjudul “Sepi”, yang ternyata cukup asyik didengarkan. Good Job!

Selesai acara, saya sempat browsing soal Black Flash, dan akhirnya saya nemu akun vokalisnya di media sosial. Kepadanya saya sampaikan apresiasi saya atas penampilan mereka tadi, dan saya sampaikan sedikit uneg-uneg saya soal gayanya.

Saya bilang, “Mainnya Metallica kok gayanya pakai gaya Axl Rose”.
Jawabnya, “Kolaborasi, bro. Vokalisnya Metallica kan bawa gitar, kalo aku tidak. Daripada gak ada gaya.

Itu sedikit catatan yang saya buat atas impresi yang saya tangkap pada even tersebut. Percayalah, masih ada (musik) rock di panggung.

——

Di Desa, Kami Juga Bermusik!

Kisaran ’95-’97an, waktu itu lagi ngetop-ngetopnya genre ‘grunge‘ (=baca granch) atau Seattle's Sound dengan band-band seperti Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, Alice In Chains, dan banyak lagi lainnya. Anak-anak muda di sekitar Tugu Payung mulai mengenal permainan gitar. Karena pada saat itu yang mempunyai dan bisa memainkan gitar baru satu orang, yaitu Hani Bandhot, maka kami belajar gitar pun secara bergiliran dibawah arahan Hani Bandhot

Lagu wajib yang dinyanyikan untuk latihan adalah lagu ‘Nothing Else Matter’nya Metallica, tidak utuh seluruh lagu, tapi cukup intronya saja.

Bisa memainkan dengan lancar intro lagu itu saja, wuih, senangnya sudah tidak ketulungan lagi. Keren, kalau menggunakan bahasa jaman sekarang.

Pada acara Agustus-an ada acara pentas seni di Balai Desa, anak-anak muda sekitar Tugu Payung (Hendri Cemplon, Kak Lulus, Yudi Peddex, Gayok, Iir Meong, Mbah Alim) ikut manggung, dengan memainkan musik yang bisa dikatakan sebagai ‘musik semi etnik’ dengan menggunakan alat-alat yang sederhana.

17an di Balai Desa Sulang, Rembang

Botol minuman sprite, sendok, garpu dan gitar. Ketika itu mereka memainkan lagu ‘Hio’nya Swami dan lagu dangdut ‘Sekuntum Mawar Merah’ yang sudah digubah syairnya menjadi bertema kemerdekaan, dan sebuah lagu barat judulnya Good Time Bad Time milik Eddy Brickell yang aransemen akhirnya dibuat menjadi dangdut dengan vokalis Kak Lulus dan Gayok. Itulah gairah awal dalam bermusik di sekitar Tugu Payung.

###

Sekitar ’96-an, Andhi yang kuliah di Semarang pulang dengan membawa ‘oleh-oleh’ sebuah gitar listrik, lalu setelah kumpul-kumpul dengan beberapa teman yang se-penderita-an, kami mulai latihan musik di rumahnya Pak Yon, bapaknya Kecik/ Alex yang merupakan seorang pemusik.

Ketika itu alat yang ada di rumah Kecik hanyalah gitar bolong, drum seadanya, bass, serta spiker dan amplinya, sedangkan untuk menggebuk drum kami menggunakan tiang bendera (yang biasanya untuk ditaruh di meja guru) yang kami peroleh dengan minta kepada Pak Achmad Anom. (Guru SD kami, matur nuwun, Pak). Dengan inisiatif sendiri, kami -lebih tepatnya, yang membuat adalah Yudi Peddex- juga membuat efek gitar. Ditambah gitar dari Andhi, lengkap sudah alasan untuk membentuk sebuah band.

Maka berdirilah Tupas (singkatan dari Tugu Payung dan Sekitarnya, ide nama dari Yudi Peddex) dengan personil sebagai berikut : Yudi Peddex (bass), Andhi (lead gitar), Yudhie Bercho (rhytm gitar/vokal), Hook (akustik gitar/vokal), Dilla Komplong (lead vokal), Alex/Kecik (drum) dan Benu (backing vokal/ merangkap sebagai kru).

Kami lalu mulai latihan dengan intens, menyanyikan lagu-lagu dari Boomerang, /Rif, Bunga, Netral, Red Hot Chilli Peppers, dan band-band lain yang ngetop pada saat itu, karena (untungnya) referensi musik kami lumayan lengkap untuk saat itu.

Yang kami ingat, tiap kali mau latihan harus gotongan alat dari rumah untuk dibawa ke rumahnya Alex, atau kadang Hook, dan pernah juga latihan di ‘Pendopo’ rumahnya Pak Jupriyanto (Ki Dhalang).

Oh ya, kadang-kadang pada waktu kami latihan, Pak Yon ikut nimbrung dengan menggunakan keyboardnya, yang ternyata tanpa kami sadari itu adalah sebagai bentuk dukungan dan bimbingannya terhadap gairah bermusik kami (matur nuwun, Pak). Terima kasih juga untuk warga sekitar rumah Alex yang telah merelakan telinganya dengan ikhlas untuk mendengarkan betapa berisiknya kami berlatih musik.

Pentas pertama kali tahun 1998, pada waktu ada acara perpisahan di SMA Sulang (waktu itu kepala sekolahnya Pak Kus). Dan layaknya sebuah band profesional, kami lalu merancang logo band dengan menggunakan program ‘paint’ di windows 98, dan membuat proposal untuk bisa tampil di acara tersebut dengan mengajukan anggaran sebesar RP 50.000 sebagai ganti biaya latihan, dan dikabulkan.

Pentas dimulai, membawakan lagunya /Rif, Boomerang, dan lagu-lagu lain. Dengan segala action yang kami bisa kami bergaya, karena difoto oleh Benu, akan tetapi (inilah kenangan yang tak terlupakan!), setelah hasil foto dicetak ternyata semua tidak ada gambarnya, alias kobong!.

Sejak itu, secara rutin kami manggung di acara 17-an di Balai Desa, dengan personel yang semakin menyusut seiring dengan kesibukan masing-masing (Hook gantung gitar, sedangkan Komplong gantung mik), jadilah tinggal kami berempat (Kecik, Peddex, Andhi, Bercho) yang melanjutkan perjalanan Tupas.


Kecik (Alex) in action.

Selain manggung di 17-an, pernah juga manggung di acara “Kemah Pembauran Tingkat Kabupaten Rembang” di Sulang tanggal 12 Agustus 2001, dengan featuring Tongkik di posisi vokal.

Dan akhirnya, (kembali) karena kesibukan masing-masing (Andhi kerja di Semarang, Kecik menjadi guru, Peddex berkutat dengan dunia IT-nya, Bercho kerja di Jepara), Tupas menjadi ‘tidur’ untuk sekian lama, dan sampai sekarang belum terdengar lagi kabar beritanya.

Dan mengenai kiprah personil Tupas di band-band lain, sudah pernah saya bahas di tulisan saya sebelumnya, baik yang berjudul Scene Musik di Sulang Rembang: 1990-2000an maupun Ada Apa Dengan Tupas?

——–

Ada Apa Dengan Tupas?




Melihat geliat per-musik-an di Sulang setelah adanya studio musik, yang memberikan kemudahan akses buat anak-anak muda Sulang dan sekitarnya dalam bermusik, membuat libido bermusik saya kembali datang. Meski dengan skil pas-pasan, kemampuan rata-rata, itu tidak menciutkan nyali sedikitpun untuk kembali menyalakan api musik dalam diri saya.

Lalu saya mulai ngumpul-ngumpul dengan beberapa teman yang saya kira punya visi yang sama dengan saya, sehingga akhirnya, BOOM!, jadilah ‘session band’, yang pada mulanya terdiri dari beberapa personel yang ‘tidak’ tetap, karena memang mereka juga menjadi player di band lain.

Pada awalnya, session band ini selalu berganti player tiap kali latihan di studio. Menyebut beberapa nama diantaranya adalah Wahyu, Gombel, Adi’, Duix, Risma, Sapi, Bercho, dan Angga.

Lalu, setelah beberapa kali latihan akhirnya yang tersisa dan terasa ‘fixed’ adalah komposisi Adi’ [vokal], Duix [bas], Bercho [gitar], Risma [gitar] dan Angga [Dram]. Inilah session band itu. Kenapa dari tadi saya menyebut band ini sebagai session band? Karena band ini belum bernama.

Soal nama, apakah akan disebut sebagai TUPAS? Tentu saja saya berani mengatakannya TIDAK, dengan T besar. Karena, TUPAS belum bubar, tetapi hanya sedang tidur. TUPAS adalah Andhi, Peddex, Hook, Komplong, Bercho dan Kecik. Itu saja! Dan sampai saat ini tidak ada pernyataan bubar dari TUPAS. Saya sebagai salah satu dari anggotanya tidak ‘merekomendasikan’ nama itu untuk digunakan sebagai nama session band ini. Biarlah band ini tanpa nama, tetapi yang penting ‘nyala api’ bermusik yang kami miliki tidak pernah padam, tetap membara.

Saya kangen dengan teman-teman lama saya yang dulu biasa/ sering bermain musik bersama: Tongky, Sapi. Entah bagaimana aktivitas bermusik mereka saat ini. Terakhir, saya mendapat sapaan dari teman lama saya Yusril, Tongky, Gobang, lewat blog saya. Mudah-mudahan mereka tetap seperti yang dulu.

(tulisan ini pernah dimuat di https://sulang.wordpress.com/2008/07/29/t-u-p-a-s-re-born/)

Scene Musik di Sulang Rembang: 1990-2000an

Pak Puji in Action.


Similar dengan yang terjadi di Seattle [nun jauh di Amrik, sana] ketika grunge mengobrak-abrik arah permusikan di seluruh dunia, scene musik di Sulang, tepatnya di Desa Sulang Kecamatan Sulang Kabupaten Rembang Jawa Tengah, juga diwarnai oleh arus pertumbuhan band yang cukup pesat.  Band-band bermunculan, meski jika diperhatikan dengan lebih seksama, orang-orang yang terlibat didalamnya hanya ‘itu-itu’ saja.

Tongki a.k.a Aan misalnya. Dia pernah satu band dengan Andhi’ dan Sapi a.k.a Weppy/Licco, dan mereka pernah manggung di alun-alun Rembang [gimana sih, tulisan alun-alun yang benar?!].  Sebelumnya, Tongki’  juga pernah berduet dengan Ayik [domisili sekarang Bandung] menyanyikan lagu-lagu Nirvana, yang memang pada saat itu lagi ‘hot-hot’nya. Kemudian, Tongki’ berkolaborasi dengan Andhi’, Sapi, Bercho a.k.a. Yudhie, Kecik a.k.a. Alex, dan seorang vokalis cewek dari Pati.  Kolaborasi ini menjadi sebuah band bernama Virgin.

Virgin lalu intensif melakukan latihan, untuk mengikuti sebuah festival yang bertajuk ‘Festival Musik Alternatif Se Eks-Karesidenan Pati’ yang berlangsung di GOR Pati, akhir 1999. Virgin berhasil menyabet gelar juara ke 3 dan gelar gitaris terbaik, Andhi’. Waktu itu Virgin membawakan lagu ‘Interstate Love Song’ Stone Temple Pilots dan ‘Gambang Suling’ yang telah di aransemen menjadi lebih ‘fushion-alternatif’ [entah, apa istilahnya yang benar].

Selain di Virgin, Bercho, Kecik, dan Andhi’ mempunyai band bernama Tupas [kependekan dari ‘Tugu Payung dan Sekitarnya’] yang dibentuk bersama Pendek. Pada awalnya band ini juga beranggotakan Komplong a.k.a Dilla pernah nyambi di free cell dan Hook a.k.a. Kukuh. Pentas pertama kali di acara pentas perpisahan SMA Negeri Sulang di kisaran tahun 1995an, dengan bayaran 50 ribu rupiah, waktu itu.

Sampai saat ini, Tupas masih eksis walau tidak begitu aktif, sehubungan dengan berpencarnya aktifitas para personelnya. Seiring dengan vakumnya Tupas, Pendek pun pernah berkolaborasi dengan Tupai [Iwan] juga Bongod [Hadi], sedangkan Bercho membentuk ‘jam sesion band’ bersama Sapi, Adi’ dan Risma.

Oh ya, saya tiba-tiba teringat. Dulu pernah ada satu ‘momen’ di mana beberapa anak muda Sulang, salah satunya adalah mas Diduk a.k.a Nanang [saya yakin, itu adalah cikal bakal dari FGMS sekarang!] berinisiatif mengadakan sebuah ‘gigs’ yang diselenggarakan di gedung Kawedanan Sulang, yang kebetulan bertepatan dengan suasana lebaran. Jadi bisa dikatakan, semacam acara silaturahmi antar generasi Sulang, yang menampilkan beberapa band Sulang, salah satunya adalah Tupas. Waktu itu, Tupas menyanyikan beberapa buah lagu. Yang masih saya ingat adalah ‘Mawar Merah’ Slank dengan Komplong masih sebagai vokalis dan Hook pada gitar bolong. Waktu itu beberapa ‘crew’ Tupas menyalakan kembang api berbentuk kupu-kupu yang bisa terbang, sehingga menambah kemeriahan acara.

Ah, jadi pengen bernostalgia lagi. Kapan ‘gigs’ seperti ini akan muncul lagi, dan tidak sekedar ‘seremoni’ belaka setiap 17 Agustus.

Tidak bisa diingkari juga bagaimana peran mas Gombleh [Ilal] dalam meramaikan ‘scene’ musik di Sulang ini. Dia bersama dengan Uud [adiknya Diduk], Tonga a.k.a. Edy, Mas Kithut [Totok] dan Lisin pernah manggung di salah satu acara di Kecamatan Sulang, waktu itu panggungnya lumayan besar.

Saya juga pernah satu panggung dengan mas Gombleh, di salah satu acara kampanye sebuah partai peserta pemilu, tahun 1994-an, di halaman Stadion Krida Rembang. Waktu itu yang terlibat diantaranya adalah Tongki’, Sapi dan Gagap [Roni].

Ada beberapa nama lain yang pernah dan/ atau masih beredar di ‘scene’ musik Sulang, untuk sekedar menyebut di antaranya adalah Ndaru [anaknya Pak Djup, seorang dhalang], Wahyu [bapaknya adalah seorang pemain band yang suka memainkan musik keroncong], Ari & Han [Senthet] [keduanya adalah anak Pak Yon, yang juga seorang guru musik. keduanya saudara dari Keik], Apin [Hanif, adiknya Gombleh], Cemplon [Hendri], Agus [Lambangan], Gobed [Yanto], Pak Yon, Pak Kempul [Puji], Pak Mad [Ach. Anom]. Jika ada yang terlewat.  Mohon maaf sebesar-besarnya.

Perkembangan ‘scene’ musik makin berkembang dengan adanya studio musik di Sulang [milik mas Kithut], sehingga untuk melatih skill, tidak lagi harus bersusah-susah dan jauh pergi ke Rembang.

Yang membanggakan saya, sampai saat ini [setidaknya] tidak ada band di Sulang yang membawakan lagu-lagu dari Kangen band [Maaf, saya tidak membencinya, saya hanya tidak suka. Itu saja]. Semoga seterusnya tidak ada. [Atau saya yang kelewatan akan sesuatu? Entah]

Salute!
Keep On Rock N’ Roll!
————–
(tulisan ini pernah dimuat di https://sulang.wordpress.com/2007/11/12/scene-musik-di-sulang/)