21.2.21

RIP : IRS

(Rest In Peace : Irvan Rotor Sembiring) 


Pagi ini 16 Februari 2021, timeline akun facebook saya dipenuhi postingan dari mereka yang ada di friendlist saya. Isinya semua sama. Ungkapan duka cita mendalam atas kepergian bang Irfan Sembiring, dedengkot Rotor band thrash metal Indonesia yang pernah menjadi pembuka konser Metallica di Indonesia pada tahun 1993.

Berita yang sangat mengagetkan, karena tidak ada yang menduga akan kepergiannya. Saya sering berinteraksi pada postingannya, entah itu berupa sumbangan jempol atau komentar. Terakhir postingan IRS yang sempat saya lihat adalah dia menguplod fotonya dengan caption "latihan senyum".

Bahkan beberapa waktu sebelumnya, IRS sempat mengupdet info akan membuat proyek baru bersama Bakkar (drummer Rotor) dan Makki (bassist Ungu), setelah sebelumnya melaunching album fenomenal Rotor 'Behind The 8th Balls' dalam bentuk vinyl. IRS juga berencana menerbitkan buku berisi sejarah perjalanan Rotor band, setelah sebelumnya sempat membuat tulisan berseri tentang hal itu. Terakhir, Rabonsick Records akan merilis ulang album Win yang dulunya hanya beredar di Amerika Serikat. 


***

Ingatan saya kembali ketika saya masih SMA. Suatu hari saya kumpul-kumpul sama teman setongkrongan di depan rumah. Saya keluarkan tape compo, kemudian saya setel album Behind The 8th Balls kencang-kencang. Teman-teman langsung antusias mendengarkan, dan berkomentar "Ini baru namanya metal!!"

Apalagi ketika tiba pada lagu Pluit Phobia dan Gatholoco. Dua buah lagu dengan nada yang sama tapi dengan lirik yang berbeda. Gilaaakk!! 

Musik yang sungguh menarik minat saya karena belum pernah mendengar musik seperti itu sebelumnya, jadilah tiap kali request di sebuah acara yang memutar lagu-lagu rock dan metal di sebuah radio, lagunya Rotor menjadi lagu yang wajib kami request untuk dapat diputar, selain lagunya Jet Liar dan Edane. 

Semenjak itu saya menjadi begitu ngefans dengan Rotor, saya koleksi album-album kaset pita mereka. Mulai dari album pertama, Behind The 8th Balls, Eleven Keys, New Blood sampai Menang. Bahkan album-album yang dirilis ulang pun saya koleksi. 

Kini saya sedang harap-harap cemas menunggu kelanjutan rencana penerbitan buku sejarah Rotor dan Suckerhead, yang infonya sudah dibahas dengan salah satu penerbit indie di Jogja sebelum meninggalnya bang IRS. Semoga tetap lanjut, agar catatan sejarah itu tidak hilang begitu saja. 

***

Kembali ke diri bang IRS, setelah Rotor vakum dia memilih jalan menuju ke pertaubatan. Bukan hijrah, tapi masih pada tahapan menuju hijrah, seperti yang disampaikannya di beberapa kanal Youtube. 

Kini Allah memanggilnya, semoga jalan yang ditempuh memberikan kedamaian dan ketenangan, diterima segala amal dan ibadahnya serta diampuni segalan kekhilafannya. 

Duka terdalam, sampai jumpa. 🤘



20.1.21

Foto: Tupas Band dan Setelahnya [1994-2006]

 1. Icon Tugu Payung


2. Tupas Band
     - Alex, Drm
     - Andhi, Gitar & Vokal
     - Bercho, Gitar & Vokal
     - Peddex, Bas

     ex Member:
     - Hook (alm.), Gitar Akustik, Vokal
     - Dilla, Vokal

     Additional Player:
     - Weppy, Drm
     - Ari, Bas


Bercho

Andhi

Peddex

Alex alias Kecik

BR Studio Sulang

Risma (Sumber Manfaat Band) & Andhi (Tupas)




3. Tupas Band feat. Tongky (on Vokal)


Tongky


4. Sumber Manfaat Band (Jamming Band)
    - Angga, Drm
    - Dwi, Bas
    - Bercho, Gitar & Vokal
    - Risma, Gitar & Vokal
    - Adyk, Vokal






Dolan ke Toko Gitar Pegazus


Awal tahun 2021, saya kepikiran ingin membeli sebuah gitar bolong, karena gitar lama sudah rusak. Selain itu saya juga ingin mengajari Magdala dan Magdalena untuk bermain gitar. Setelah mencari-cari informasi, pilihan jatuh ke model gitalele, yaitu gitar mini yang ukurannya lebih besar sedikit daripada ukulele tapi lebih kecil dari pada gitar standar. Kemudian saya kontak dengan Bima pemilik toko gitar Pegazus, janjian untuk ketemu. Janjian pertama gagal, karena pas saya datang ke toko malah Bima sedang pergi. Kami janjian lagi lain hari untuk ketemuan. Jumat siang saya mengajak anak saya, Magdala, dolan ke Pegazus Guitar Store di komplek Pujasera Ngabul. Selain ketemu sama Bima di sana juga ada mas Jay, bapaknya Bima yang mengelola event organizer juga seorang pemain bas dari band Pegazus Jadilah kami ngobrol panjang lebar. Dari mulai soal perbedaan antara gitar standar, gitar 3/4, gitalele dan ukulele, sampai dengan kondisi pandemi sekarang ini yang sangat berdampak terhadap para seniman panggung. Juga musik Rock 90an, sampai Godfather of The Brokenheart, pakdhe Didi Kempot. Mas Jay banyak bercerita soal awal mula berbisnis even organizer, bagaimana ia mengelola sebuah pentas pertunjukkan musik, sampai kemudian memutuskan mengelola usaha yang masih berkaitan dengan musik.
Saya ceritakan bagaimana saya ajak anak saya, Magdala, untuk pertama kali nonton konser musik ketika dia umur 7 tahun, di konser Jeparawk Evolution Part 5 yang diprakarsai oleh mas Jay. Kemudian bercerita juga tentang ngeband bersama dengan kawan-kawan di kampus sewaktu kuliah, dengan kawan-kawan di kampung.

Bima juga menyelingi dengan menceritakan passionnya di bidang sastra, kegelisahan yang dia tangkap muncul di lirik-lirik pada lagu yang dia ciptakan.
"Aku ingin jadi anak band seperti papah, bagian menata kabel."

Magdala mendengarkan perbincangan kami dengan tekun, kadang juga ikut nyeletuk ketika ada istilah atau kata yang tidak dipahaminya. Tanpa terasa lebih dari 1 jam perbincangan kami berlangsung, jika bukan karena ada pesan masuk dari mamahnya Magdala yang mengingatkan harus mampir ke tempat saudara mungkin perbincangan belum akan berakhir.
-------- *) Toko Gitar Pegazus selain ada di komplek pujasera Ngabul, ada di beberapa lokasi lain, diantaranya di Kecapi dan Pantai Telukawur.