Kaos band yang pertama saya punya adalah kaos berwarna biru gelap yang bergambar personel Guns N' Roses, dibelikan ibu ketika saya mau kuliah di Semarang. Ibu membelikannya dengan sedikit berbisik, "Jangan bilang adikmu, nanti dia juga minta".
Yang masih jadi pertanyaan, ibu membeli kaos bergambar "GN'R" itu kebetulan nemu yang bergambar anak band atau emang sengaja?
Setelah kuliah, dari uang saku yang diberikan saya sisihkan untuk membeli kaset-kaset dan juga kaos. Pembelian kaos band masih berlanjut dengan membeli kaos bergambar/ tuliskan Oasis dan Nirvana, produk dari C59.
Makin lama kaos-kaos itu makin usang bahkan ada yang diminta sama seorang teman waktu saya sempat mukim di Jakarta bertahun lalu.
---xx---
Kisaran tahun 1999-2000 di Solo, suatu hari:
"Ngefans kok gak punya kaosnya!", ucap si Agus, teman saya yang berkacamata tebal ketika duduk di depan saya.
Dia saat itu mengenakan kaos bergambar Deep Purple yang desainnya meniru gambar cover album "Very Best of Deep Purple", dia memang ngefans sama Deep Purple dan Dream Theater.
"Emangnya kalau ngefans harus pakai kaosnya, gitu?", kata saya sambil balik nanya, yah, semacam pembelaan diri.
Setelah berpikir lebih lama, ternyata sedikit banyak apa yang disampaikan Agus ada hubungannya juga. Paling tidak, dengan mengenakan kaos yang bergambar/ logo/ tulisan band atau tokok idola, saya bisa menunjukkan eksistensi diri alias pamer sedikit. Apalagi ketika kemudian ketemu sama orang yang juga punya idola yang sama dengan saya.
Akhirnya setelah lama vakum, saya membeli lagi kaos band-band kesukaan saya, produk lokal sih, tapi belinya gak ada di sembarang tempat, karena waktu itu belum marak distro seperti sekarang ini.
Seiring berjalannya waktu, kesukaan saya membeli kaos masih saja berlanjut. Kini tidak lagi dominan membeli kaos band, namun sudah bergeser menjadi sebuah bentuk dukungan terhadap kegiatan atau aksi-aksi baik politik maupun sosial.
Apakah ada manfaatnya? Entah.
No comments:
Post a Comment